Perbudakan Di Indonesia Pada Zaman Kolonial Belanda
Menurut laman historia.co.id sejarah perbudakan di Indonesia telah dimulai pada abad ke-15 Masehi jauh sebelum kedatangan orang-orang Belanda ke Nusantara. Kala itu terdapat sejumlah orang yang menyerahkan dirinya secara sukarela kepada penguasa setempat untuk dijadikkan budak. Penyebabnya antara lain terlilit hutang piutang, ketidakmampuan membayar mas kawin, kegagalan panen, atau malapetaka lainnya.
Menurut sejarawan Australia Anthony Reid dalam bukunya berjudul Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga ( 1450-1680 ) menyatakan bahwa " Di Aceh setiap orang menjual dirinya sendiri. Sejumlah penguasa penting mempunyai tidak kurang dari seribu budak dan semua saudagar besar, yang juga memiliki budak-budak ". Di tempat lain misalnya di Banten, misalnya, para sultan Banten mempekerjakan budak untuk menghibur para tamu.
Khusus di Batavia ( kini Jakarta )orang-orang Belanda menguasai perdagangan budak. Budak-budak itu didatangkan dari Bali dan Sulawesi Selatan. Bukan hanya penguasa Belanda saja yang mempekerjakan budak-budak itu, tetapi juga orang merdeka ( mantan budak ) yang disebut Mardijker. Meskipun demikian, prang-orang Belanda dan Mardijker pemilik budak tidak dapat bertindak sewenang-wenang terhadap mereka. Mereka membutuhkan budak tak hanya sebagai tenaga kerja melainkan juga simbol status. Dalam memperdagangkan budak orang-orang belanda bekerjasama dengan orangorang Cina ) Lihat sejarawan Batara R Hutagalung. Indonesia Tak Pernah DiJajah 2017 ).
Pada masa British Interregnum ( Pemerintahan sisipan Inggris 1811-1816 ) Letnan Gubernur Jenderal Inggris di Jawa, Sir Thomas Stamford Raffles, berusaha untuk menghapuskan perbudakan di Hindia Belanda atas dasar Slave Act 1807 yang berlaku di koloni-koloni Britania Raya. Pada masa itu kepemilikkan budak merupakan simbol kekayaan dan status sosial. Namun kenyataannya memurut sejarawan Alwi Shahab dalam buku Batavia Kota Hantu ( 2008 ) Sir Thomas Raffles memiliki beberapa budak yang berasal dari India.
Menurut laman historia. co.id sikap pragmatis Raffles lainnya tentang perbudakan ketika dia tak bisa menolak pengiriman ribuan budak dari Jawa ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan, atas permintaan koleganya residen Inggris di Banjarmasin, Alexander Hare, yang baru menerima tanah yang luas dari Sultan Banjar. Hare mendirikan kerajaan kecil di sana yang dia namakan Maluka ( lengkap dengan haremnya ) dan budak-budak kiriman Raffles sebagai tenaga kerja. Di Britania Raya, skandal ini dikenal dengan nama The Bandjarmasin Enormity ( Kekejaman Banjarmasin ).
Dalam masa pemerintahannya yang singkat di Hindia Belanda, Raffles mengkritik kepemilikkan budak-budak oleh orang-orang Belanda pada saat itu. Ketika Belanda berkuasa kembali di Hindia Belanda pasca Perang Napoleon di Eropa, orang-orang Belanda yang tinggal di Hindia Belanda menghidupkan lagi perbudakan sebelum akhirnya Pemerintah kolonial Belanda secara resmi menghapuskan sistem perbudakan di Hindia Belanda pada tahun 1860 ( Lihat pula sejarawan Batara R Hutagalung. Indonesia Tidak Pernah Dijajah 2017 ).
Kehilangan budak berarti kehilangan status. Maka para pemilik budak berusaha merawat mereka sebaik mungkin. Namun ada saja budak yang kabur karena perlakuan sewenang-wenang majikan mereka. Perbudakan di era VOC itu terus berlanjut hingga VOC runtuh dan dibubarkan pada akhir abad ke-18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar