Agresi Militer Belanda II
Pada hari pertama agresi, pasukan payung Belanda berhasil merebut Lapangan terbang Maguwo milik TNI Angkatan Udara. Kabinet Hatta mengadakan sidang kilat.Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap berada di Kota Yogyakarta agar dekat dengan Komisi Tiga Negara ( KTN ) sehingga kontak-kontak diplomatik dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) dapat diadakan.
Sebelum ditangkap oleh tentara Belanda, Presiden Soekarno sempat memberika kuasa kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI ) di Bukittinggi, Sumatera Barat. Peralihan pemerintahan ini bertujuan agar Republik Indonesia tidak berhenti dan terus menyusun strategi melawan Belanda. Mr. Sayfruddin Prawiranegara juga menunjuk Dr. Sudarsono, L N Palar, dan Menteri Keuangan Mr A.A. Maramis Wakil Indonesia di India untuk memimpin Pemerintahan Darurat RI di India jika Mr. Syafruddin Prawiranegara tidak berhasil membentuk PDRI di Sumatera.
Setelah tentara Belanda menduduki Kota Yogyakarta, TNI melancarkan perang gerilya sesuai dengan perintah Jenderal Sudirman. Divisi Siliwangi yang saat itu berada di Yogyakarta dan Jawa Tengah dalam rangka hijrah diinstruksikan untuk kembali ke Jawa Barat dengan berjalan kaki untuk membentuk kantong-kantong gerilya di wilayah Jawa Barat yang dikenal dengan nama Long March Divisi Siliwangi. TNI dan laskar terus melakukan perllawanan terhadap agresi militer itu. Agresi militer Belanda itu mendapat kecaman keras dari dunia internasional.PBB mendesak Belanda untuk membebaskan pemimpin Indonesia yang ditawan dan meminta Belanda kembali mentaati Perjanjian Renville.
Belanda pun akhirnya membebaskan Bung Karno dan Bung Hatta pada 6 Juli 1949. Pemerintahan RI pun kembali pulih kepada 13 Juli 1949. Belanda dan indonesia juga merundingkan Perundingan Roem-Royen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar