MONOPOLI PERDAGANGAN GARAM OLEH BELANDA DI INDONESIA

Mendengar kata garam bagi anda mungkin tidak aneh bagi anda sebab garam adalah salah satu bahan baku makanan. Garam sudah menjadi barang yang diperjual belikan di Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu. Namun sayangnya saat ini garam menjadi barang langka dan antik berharga mahal kini sulit untuk didapatkan baik oleh rumah tangga maupun industri. Hal inilah yang memicu terjadinya krisis garam padahal garam banyak mengandung manfaat selain sebagai bahan baku makanan juga dipakai sebagai bahan baku oralit untuk menyembuhkan diare.

Apakah baru kali ini terjadi krisis garam ? Tidak. Menurut info yang dikutip dari www.solopos.co.id menyatakan krisis garam sudah terjadi sejak abad ke-17. Pada abad ke-17 telah terjadi monopoli perdagangan garam yang dilakukan oleh Belanda dan Tiongkok. Saat itu baik Belanda maupun saudagar Tionghoa membangun kekuasaan penuh atas garam. Kemudian pada masa British Interregnum ( Pemerintahan sisipan Inggris, 1811-1816 ), Letnan Gubernur Jenderal Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles mengeluarkan peraturan yang menghapuskan sistem penyerahan wajib ( contingenten leverantie ) dan sistem penyewaan produksi dan perdagangan garam yang dilakukan oleh pemborong.

Ketika Belanda kembali berkuasa di Indonesia, pada 1818 Pemerintah kolonial Belanda melakukan kontrol terhadap produksi dan perdagangan garam di daerah-daerah penghasil garam yang dikuasakan kepada para residen Belanda setempat. Sayangnya, para residen Belanda kala itu banyak yang korup. Banyak pula kepentingan para bupati yang ikut campur menyebabkan merosotnya pemasukan pemerintah kolonial Belanda dari sektor perdagangan garam.

Akibatnya, masa krisis dan surplus produksi garam silih berganti pada masa ini.Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya pembatasan produksi garam yang menyebabkan stok-stok garam di gudang-gudang garam milik Pemerintah kolonial Belanda berlebih dan tidak bisa didistribusika dengan baik sehingga menimbulkan krisis garam antara tahun 1851-1861.

Krisis garam yang berlarut-larut itu, menyebabkan pemerintah kolonial Belanda menutup ladang-ladang garam di beberapa daerah penghasil garam, hingga produsen-produsen dan para pekerja kelimpungan mencari nafkah. Atas kekacauan ini, antara tahun 1860-1870an muncul gagasan membebaskan produksi dan perdagangan garam. Tetapi rencana itu tidak terealisasi karena khawatir pendapatan negara berkurang. Kemudian terjadi distribusi garam yang tidak merata dan terdapat kesenjangan harga akibat karut-marut industri garam dan peraturan pemerintah kolonial Belanda yang tidak pasti.

Terbitlah Bepalingen Tot Verzekering van Het Zoutmonopolie atau sistem monopoli garam dari Pemerintah Hindia Belanda yang disahkan dalam Staadblad Van Nederlandsch-Indie ( Lembaran Negara Hindia Belanda ). Dengan kebijakan ini, peraturan yang dibuat oleh Komisaris Jenderal Du Bus pada 1829, peraturan ihwal menyewakan pengelolaan garam kepada pihak swasta guna menutup defisit keuangan VOC, berakhir saat itu juga.

Kelangkaan garam nasional terjadi lagi pada 1909 dan 1910 akibat fluktuatifnya produksi garam meskipun produksi garam meningkat meskipun tidak signifikan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor cuaca sehingga produksi garam tidak maksimal dan faktor persaingan dagang yang tidak sehat.

Pada 1912 perusahaan garam di Hindia Belanda membuka perusahaan pelayaran sendiri, mendirikan pabrik-pabrik garam dan bandar-bandar yang baru. Malaise ( Depresi Ekonomi Global ) pada tahun 1930an juga turut melanda industri garam, namun pemerintah kolonial Belanda menyiasati dengan keputusan memperluas ladang-ladang garam berskala besar ( 3000 hektar ) atau tambak-tambak garam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Lebih Dekat Bahasa Melayu Dialek Champa Di Kamboja Dan Vietnam

Bahasa Melayu di Singapura